Solusi Penanggulangan Limbah Deterjen
Deterjen, merupakan surfactant
anionik dengan gugus alkil atau garam dari sulfonat atau sulfat berantai
panjang dari natrium yang berasal dari turunan minyak bumi ( fraksi parafin & olefin ).
Tak dapat terelakkan lagi, penggunaan deterjen dalam kehidupan
sehari – hari memang sudah sangat membudaya. Padahal penggunaan deterjen yang
berlebihan dapat mengakibatkan banyak sekali permasalahan lingkungan. Bagaimana
tidak, kandungan bahan bahan kimia dalam deterjen seperti fosfat, surfactant ( surface
active agent ), maupun bahan kimia lainnya dapat mengganggu ekosistem
perairan yang terkena limbah tersebut.
Contohnya saja kandungan 3,4 benzopyrene, selain berguna dalam melarutkan
bahan bahan seperti noda, zat ini juga bersifat karsinogen, yaitu bersifat
penyebab kanker. Kandungan zat kimia dalam deterjen lainnya juga dapat
menimbulkan rasa gatal dan bahkan terbakar
Ada dua alat ukur yang digunakan
untuk melihat sejauh mana tingkat keamanan prodk kimia di lingkungan, yaitu
tingkat racun ( toxicity ) dan daya urai ( biodegradable ). Dalam
lingkungan, deterjen memiliki tingkat daya urai yang sangat rendah sehingga
dapat dikatakan non biodegradable.
Kerugian lainnya dalam penggunaan
deterjen adalah terjadinya eutrofikasi, yaitu proses pembuahan yang tak
terkendali bagi populasi tanaman eceng gondok dalam ekosistem yang diakibatkan
oleh fosfor dalam deterjen. Selain itu, fosfor juga menyebabkan pendangkalan
sungai dan iritasi pada kulit manusia karena memiliki pH antara 10 – 12.
Pada umumnya, deterjen mengandung :
-
Surfactant ( surface active agent )
Merupakan zat aktif permukaan yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang
menempel pada permukaan bahan. Surfactant dapat berupa anionik ( Alkyl
Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS ), Kationik (
Garam Ammonim ), Non ionic ( Nonyl Phenol Polyethoxyle ), dan Amphoterik
( Acyl Ethylenediamines ).
-
Builder ( Pembentuk )
Berfungsi memaksimalkan kinerja surfactant
dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, baik berupa fosfat,
asetat, silikat, maupun sitrat.
-
Filler ( Pengisi )
Berfungsi sebagai penambah kuantitas deterjen
sehingga terlihat lebih banyak meskipun tidak dapat menambah daya cuci deterjen
seperti Natrium Sulfat ( Na2SO4 )
-
Addictives
Zat kimia tambahan seperti pewangi, pelembut,
dan pelarut yang memberikan nilai tambah dalam deterjen tersebut seperti NaCl
dan Carboxy methyl cellulose ( CMC ).
Zat – zat kimia dalam deterjen jika terlalu banyak menumpuk dalam
air dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap ekosistem perairan, oleh karena
itu dilakukan banyak cara untuk menanggulangi limbah dari deterjen, salah
satunya adalah dengan mengandalkan bahan kimia dengan teknik koagulasi.
Beberapa bahan kimia yang digunakan adalah koagulan kimia seperti Poli
Alumunium Klorida, garam aluminat seperti tawas, dan sebagainya.
Dapat juga dengan Teknik Filtrasi, yaitu menggunakan bantuan media
filter seperti pasir ( misalnya : dolomit, silika, maupun antrasit ), senyawa
mineral seperti kapur dan karbon, membran ( RO, Dialisis, Osmosis ), biofilter
ataupun teknik filtrasi lainnya.
Cara lainnya adalah dengan Bioremoval dan Bioremidiasi.
Bioremoval yaitu teknik pengolahan menggunakan biomaterial atau bahan
organik seperti lumut, daun teh, sekam padi, maupun sabut kelapa, atau dengan
bahan anorganik seperti tanah gambut, lumpur aktif dan sebagainya. Sedangkan Bioremidiasi
merupaka tingkat lanjut dari Bioremoval, yaitu dengan menggunaka
mikroorganisme seperti bakteri, kapang, jamur aerobik maupun anaerobik, atau
dengan menggunakan alga, tanaman, dan hewan.
Dan cara terakhir yaitu dengan teknik RO atau Reverse Osmosis.
Penggunaan cara ini memakan biaya yang cukup murah dan efisien serta kualitas
air yang dihasilkan cukup baik.
Pengguunaan deterjen yang berlebihan dapat berakibat buruk, baik bagi kita manusia, maupun hewan dan tumbuhan. Dengan mengurangi penggunaan deterjen, kita dapat membantu melestarikan lingkungan kita dan menjaga kebersihannya.